Seorang pria setengah tua datang ke gedung J Edgar Hoover : kantor pusat FBI di Washington DC. Kepada petugas resepsionis di lobby, ia minta bertemu dengan Asisten Direktur FBI Harold Cooper. Ia menyebutkan namanya: Raymond Reddington. Perempuan yang jadi resepsionis mengetikkan namanya ke komputer. Pria itu, sambil melepas topi dan jas, berjalan ke tengah lobby dan berhenti tepat di atas lantai berlogo besar FBI. Komputer resepsionis memunculkan suara peringatan. Melihat data di layar komputer, tombol alarm darurat langsung ditekan. Pria itu adalah salah satu dari 10 buronan teratas FBI. Satuan pengaman FBI langsung mengepung. Pria itu meletakkan tangan di belakang kepala dan bersimpuh.
Markas FBI pun geger. Raymond Reddington, yang sudah berkepala agak licin, tidak memberikan perlawanan saat ditangkap. Ia memang sengaja dan dengan sukarela menyerahkan diri. Ia diamankan ke salah satu black-site FBI di Washington DC. Dengan penjagaan ketat, Reddington dikurung dalam ruang kaca amat tebal, yang dindingnya harus dibuka tutup layaknya sebuah gerbong kereta api. Keotentikan jati dirinya sudah dicek lewat sidik jari dan tattoo di tubuhnya. Sebagai bukti ekstra, ia bisa memaparkan operasi rahasia FBI yang gagal di Brussel, Belgia, tahun 2008. Operasi itu tak lain misi pembunuhan yang dilakukan FBI terhadap dirinya.
Satu jam kemudian, Harold Cooper (Harry Lennix), petinggi FBI yang ingin ditemui Reddington datang. Jabatan lengkapnya adalah Asisten Direktur FBI Divisi Kontra-Terorisme. Ia disambut Donald Ressler (Diego Klattenhoff), agen khusus FBI yang dulu ikut operasi rahasia di Brussel, yang sudah sedari tadi sibuk menangani Reddington. Ressler memberitahu kalau Reddington juga telah menyerahkan tas kerja berisi semua identitas palsu yang pernah ia pakai. ”Hanya sebagian yang kita tahu,” bilang Ressler. Cooper memerintahkan agar petugas labs dipanggil untuk memasang Alpha Chip, alat pelacak berbasis RFID, di leher Reddington.
Concierge of Crime
Ressler bersama Cooper lantas membriefing agen FBI lain yang sudah berkumpul, tentang siapa Raymond Redington. Reddington, atau biasa dipanggil Red, merupakan lulusan Akademi Angkatan Laut AS. Ia menamatkan pendidikan di usia 24 tahun dengan peringkat terbaik. Karirnya bagus dan ia sudah disiapkan menjadi Laksamana (Jenderal bintang satu angkatan laut). Pada tahun 1990, ia cuti natal dan pulang menemui istri dan anaknya. Tapi ia tidak pernah sampai di rumah. Mobilnya ditemukan kosong terparkir di pinggir jalan. Reddington lenyap total. Empat tahun kemudian, ketika dokumen rahasia NOFORN beredar di Maghribi, Islamabad, dan Beijing, Reddington diketahui sebagai salah satu sosok yang bertanggung jawab.
Reddington bisa dikategorikan sebagai ekstremis independen. Ia membangun bisnis kriminalnya dengan mengembangkan jaringan informan tersendiri di lingkungan kriminal. Dia bukan nasionalis. Dia tidak punya agenda politik apapun. Ia hanya ”beriman” kepada penawar tertinggi. Berbagai media menyebutnya sebagai ”concierge of crime”. Sebutan ini biasa dipakai di dunia perhotelan, yakni sosok staff yang menangani segala kebutuhan tamu, baik kebutuhan di dalam maupun di luar hotel. Untuk gampangnya, artikan saja sebagai ”makelar kriminal.”
Usai briefing, jalur komunikasi dengan Reddington yang berada di sel berupa akuarium raksasa dihidupkan. Reddington tersenyum. Ia tahu Cooper berada di balik dinding kaca ruang pengamat di seberangnya. ”Aku bisa mencium bau parfum yang kau pakai, Direktur Cooper. Bau kesombongan,” bilang Reddington. Tanpa perlu disuruh, Reddington langsung –dan ini kekhasan tokoh ini dalam The Blacklist– langsung nyerocos panjang dengan suara penuh wibawa. Dan sebenarnya, memang kepiawaian bicara yang jadi modal sang aktor: James Spader.
Reddington mengajak Cooper untuk mengingat serangan teroris terhadap Kedutaan Besar AS di Damaskus, Suriah, tahun 1986. Lalu penculikan warganegara asing di Kedubes Perancis di Aljier, ibukota Aljazair, 1997. Dan juga perampokan Bank Krunkthai di Bangkok 2002. Menurut FBI ketiga kejadian itu tidak berkaitan satu sama lain. Tapi menurut Reddington, orang yang bertanggung jawab atas ketiganya adalah orang yang sama: Ranko Zamani.
Anak buah Cooper langsung mengecek database FBI. Nama Ranko Siniza Zamani muncul. Tapi ia sudah ditandai sebagai orang yang sudah meninggal pada Juli 2001. ”Zamani sudah tewas 6 tahun lalu. Ia bukan ancaman lagi,” balas Cooper. Reddington membalas dengan bilang: kalau Zamani sudah tewas, berarti ada mayat hidup yang baru saja datang ke Amerika dengan menumpang pesawat United Airline, nomor penerbangan 283, dari Munich ke Dallas. Anak buah Cooper yang lain mengecek data kedatangan penumpang di Bandara Dallas. Secara instan mereka bisa mengidentifikasi sosok Ranko Zamani yang terekam CCTV sedang melewati gerbang pemeriksaan bandara. Zamani masih hidup. Cooper dan para agen FBI terdiam.
”Anda membangkitkan rasa ingin tahu saya,” bilang Cooper. ”Mengaku salah, Direktur Cooper?” tanya Reddington. ”Saya salah,” sahut Cooper, mengikuti permainan lawan bicaranya. Reddington lantas bilang kalau ia bisa membantu menangkap Zamani. Tapi ada syaratnya. ”Tidak ada syarat-syarat-an,” potong Cooper, cepat. Redding merespon dengan bilang agar Cooper tak sok kuasa. Ia bilang ia akan membantu menangkap Zamani, dan Zamani pasti tertangkap. Tapi ada satu syarat penting yang harus dipenuhi. Apa? Seusai pembicaraan itu, Reddington hanya mau bicara dengan FBI lewat satu orang saja: Elizabeth Keen. Ressler bergumam, ”Siapa pula Elizabeth Keen?”
Elizabeth Keen
Super gampang bagi FBI untuk mengetahui siapa Elizabeth Keen (Megan Boone). Terbukti, mungkin besok paginya, helikopter FBI sudah terbang rendah di atas rumah Elizabeth dan disusul kedatangan dua SUV hitam FBI. Agen Ressler yang datang menghampiri Elizabeth Keen, yang tak lain juga seorang agen FBI. Perempuan ini kebetulan sedang berada di teras rumahnya, bersama suaminya, Tom Keen (Ryan Eggold). Keduanya akan berangkat kerja.
Elizabeth langsung dibawa menghadap ke Cooper. Kepada Cooper, Elizabeth bilang ia sudah diinterogasi aparat FBI dan sudah menjelaskan kalau ia tak kenal Raymond Reddington. Hari itu adalah hari pertamanya bekerja sebagai profiler di Kantor FBI Washington DC. Ia baru bulan lalu lulus dari Quantico (Pusdiklat FBI), setelah 4 tahun sebelumnya bekerja di Kantor FBI New York, di bagian Gawat Darurat Psikologi. Bidang kerjanya sesuai bidang studinya di universitas: Psikologi Forensik.
Cooper meminta Elizabeth mem-profile-kan dirinya sendiri, sebagai profiler, tapi bukan membacakan resume. ”Kolega saya memanggil saya dengan sebut ‘Sir’, karena mereka pikir saya badass,” kata Elizabeth, yang meminta bosnya memanggil dirinya cukup dengan nama pendek Liz. Cooper bertanya mengapa Reddington secara khusus meminta kehadiran Liz, padahal ia baru hari itu masuk kerja di Washington DC. ”Itu pertanda dia memang menunggu kehadiran saya. Mungkin dia pikir saya orang baru dan karenanya gampang dimanipulasi. Dia tidak tahu siapa diri saya yang sebenarnya,” sahut Liz.
Elizabeth dipertemukan dengan Raymond Reddington di blacksite. ”Mengapa melibatkan saya? Tak ada yang spesial dari saya?” tanya Elizabeth. Reddington tersenyum dan bilang kalau Elizabeth amat sangat spesial. Redding pun langsung memberitahu bahwa dalam satu jam mendatang Ranko Zamani akan menculik putri Jenderal Daniel Ryker. Kalau FBI tidak segera bertindak, anak itu kemungkinan akan tewas. Zamani sendiri akan keluar lagi dari AS dalam waktu 36 jam. Tahu dari mana? Reddington bilang karena ia yang mengatur kedatangan Zamani ke AS dan juga yang menyiapkan jalan keluar Zamani dari AS. Itu wujud konkret pekerjaannya sebagai ‘concierge of crime’.
”Aku harus percaya kata-katamu?” tanya Liz. ”Terserah. Saya ini kriminal dan kriminal adalah penipu ulung,” sahut Red.
Reddington mengajak Liz bicara soal pribadi. Red bilang sejak kecil Liz adalah anak terlantar. Ayahnya meninggal sebagai seorang kriminal. Ibunya meninggal karena sakit. Sakitnya lantaran tak tahan menanggung malu setelah tahu suaminya seorang kriminal. Tapi sekarang Liz duduk di hadapannya sebagai agen FBI yang akan menangkap Zamani. ”Aku akan membuatmu terkenal Lizzy,” kata Reddington. Elizabeth meminta Red untuk tak memanggilnya Lizzy. Untuk Red, ia adalah Agen Elizabeth Keen.
Liz kembali ke ruang pengamat. Ia marah-marah. Ia bertanya siapa yang memberi tahu Reddington latar belakang dirinya. Ressler malah balik bertanya: mengapa yang dikatakan Reddington tak ada dalam resume Liz. Liz minta Cooper segera mengirim tim SWAT untuk mengamankan putri Jenderal Ryker. Ressler bilang Red cuma menggertak. ”Bukan. Dia bukan menggertak. Dia sedang pasang harga,” kata Liz. Cooper pun enggan mengerahkan SWAT. Liz akhirnya bilang, ”Kalian yang membawa saya ke sini, meminta pendapat saya, dan itulah pendapat saya. Anak itu akan diculik.”
Tim SWAT bersama Elizabeth dan Ressler datang ke sekolah putri Jenderal Ryker. Masih anak TK dan sedang latihan senam. Rombongan FBI pun kemudian membawa bocah itu ke blacksite. Tapi di tengah jalan, di jembatan yang amat panjang di Washington DC, mobil mereka dihentikan petugas keamanan berpakai hazmat. Ada tumpahan bahan kimia berbahaya. Mobil FBI diminta balik arah. Mobil terdepan pun memutar arah. Liz dan puteri jenderal di mobil kedua. Ketika mobil kedua sedang memutar arah, datang truk yang dengan kencang menabraknya dengan posisi tusuk sate. Mobil itu didorong terus menjauhi mobil FBI dan SWAT yang mengawal. Bersamaan dengan itu, petugas hazmat yang menyetop mereka mulai melepaskan tembakan. Ressler bisa keluar dari mobil dan melepaskan tembakan balasan.
Di sisi jembatan yang lain, mobil Liz dilempari granat asap dan putri sang jenderal berhasil dibawa kabur para penculik. Menggunakan tali, para penculik melarikan diri dengan perahu karet bermesin speedboat yang sudah menunggu di bawah jembatan. Ressler tak bisa menyelamatkan bocah itu karena mobil yang dipakai penculik untuk menutup jalan meledak dan ia terlempar ke sungai. Liz yang akhirnya bisa keluar dari mobil yang terbalik hanya bisa memandangi para penculik yang pergi.
Reddington Minta Hotel Mewah
Jenderal Daniel Ryker marah-marah karena anaknya diculik. Elizabeth mendengarkan dari balik kaca. Ia pun kemudian mendatangi Reddington. ”Sudah 4 jam tapi orangmu belum mengajukan tuntutan apapun,” kata Liz. Red yang murah senyum bilang kalau para penculik tadi bukan anak buahnya. Yang ia tahu hanya bahwa Zamani akan menculik dan itu sudah terjadi. Sekarang bola ada di tangan Liz. Lis akhirnya bilang terus terang, ”Tolong bantu saya menangkap Zamani.” Red bersedia dan mengajak Liz berpikir dengan menggunakan sudut pandang Zamani. Jangan pakai cara pikir polisi atau FBI. Pakai cara pikir kriminal.
Red diajak ke ruang analisis FBI. Ia melihat ke papan kaca yang ditempeli foto para kriminal yang telah teridentifikasi terlibat dengan aksi Zamani. Red mengenali orang yang disebutnya sebagai ”Chemist”, ahli membuat bom kimia. Ia mempersilakan Liz menggunakan kemampuannya sebagai profiler untuk berpikir ala penjahat. Liz menyampaikan analisisnya: Zamani menyewa Chemist berarti ia membuat bom serius. Menurut info dari CIA, Zamani sedang sekarat dan berbahaya. Ia sakit karena menghirup zat kimia dari pabrik senjata kimia yang meledak di Bosnia, akibat dibom anak buah Jenderal Ryker saat membantu NATO mengamankan Bosnia. Seluruh desa tempat tinggal Zamani terpapar zat kimia. Banyak yang meninggal, termasuk seluruh anggota keluarga Zamani. Kesimpulannya: Zamani akan meledakkan bom kimia di Washington DC sebagai balas dendam. Putri cilik sang jenderal akan dijadikan pembawa bom.
Cooper memerintahkan anak buahnya melacak keberadaan Chemist. Ketika di ruangan hanya tinggal Cooper dan Liz, Reddington bilang kalau ia punya kenalan bernama ”House Keeper” yang bisa menemukan keberadaan Chemist. Tapi ada syaratnya. Tidak ada lagi borgol-borgolan. Ia tidak perlu dikurung di sel akuarium. Dan untuk menangkap Zamani, ia harus tinggal di hotel mewah, karena Zamani mengenal dirinya seperti itu. ”Kamu minta Sheraton?” tanya Cooper. Red bilang Sheraton bukan kelasnya. Permintaan Reddington dipenuhi. Ia dipindahkan ke suite mewah dan tidak diborgol, meski tetap dijaga dan diawasi penuh para agen FBI. House Keeper dan Chemist pun berhasil diringkus.
Ketika Chemist diinterogasi, Liz pamit pulang ke rumah. Kebetulan siang tadi ia berjanji dengan suaminya, Tom Keen, untuk sama-sama pergi ke biro adopsi anak. Ia tak jadi ikut karena harus menjemput putri jenderal dan menjalankan tugas barunya. Ketika sampai di rumah, Liz gembira melihat rumah penuh dengan balon. Permohonan adopsi dikabulkan. Ia menghampiri Tom yang duduk tenang di kursi. Ketika sudah dekat barulah Liz sadar Tom terikat di kursi. Wajahnya bercucuran darah. Itu perbuatan Zamani.
Zamani muncul dengan menodongkan pistol ke arah Tom. Ia bertanya pada Liz apa yang ia tahu tentang rencananya? Liz bilang tak tahu apa-apa. Zamani menancapkan pisau ke paha kiri Tom. Liz bilang ia tahu Zamani akan meledakkan bom. Zamani membenarkan. Ia pun bilang kalau bomnya akan menimbulkan banyak korban. Zamani kemudian menantang Liz: mau menangkap dirinya, yang berarti menyelamatkan banyak orang yang bakal jadi korban bom; atau menyelamatkan nyawa suaminya? Ia bilang begitu sambil menancapkan pisau ke dada sang suami. Liz tak punya pilihan lain. Ia membiarkan Zamani pergi dan menelepon 911 untuk menolong Tom.
Reddington Buron Lagi
Suami Elizabeth terluka parah dan harus dirawat di ruang ICU. Liz marah dan mendatangi Reddington. Ia mendesak Red agar memberitahu dimana Zamani berada. Red bilang tidak tahu. Ia juga mengingatkan Liz bahwa dalam situasi sekarang, yang jadi prioritas utama adalah menangkap Zamani. Suaminya bukan urusan penting. Liz mengamuk dan menancapkan pulpen ke leher Reddington. Sambil membekap, ia sekali lagi minta Red memberitahukan keberadaan Zamani atau pulpen akan memutus urat nadinya. Red hanya bilang kalau ia mati, Liz tidak akan tahu siapa sebenarnya sosok suaminya. Liz merespon, ”Kau sama sekali tidak tahu siapa suamiku.” Ia mencabut pulpen dari leher Red. Red terluka parah.
Redding harus dirawat karena ulah Liz. Liz pun dikenai skorsing. Sementara Chemist masih belum mau buka mulut. Liz mendatangi kamar Reddington tapi dihalangi Ressler. Ketika Ressler membolehkannya masuk, Reddington sudah tak ada dikamar. Ia melarikan diri dengan menggunakan seutas tali. Liz berusaha mengejar turun dengan lift. Sayangnya lift sedang menutup pintu. Ada orang muda di dalam lift yang mengedipkan mata kepada Liz. Sosok ini tak lain orang yang mengantar Reddington ke markas FBI di awal film.
Karena sudah dipasangi chip pelacak, FBI bisa tahu Reddington berada di dekat Lincoln Memorial, kawasan taman di seberang Gedung Putih dan Capitol Hill. Red menemui Zamani yang sudah menunggu di bangku taman. Mereka saling sapa sebagai kawan lama. Seolah belum tahu, Red menanyakan bagaimana hasil kunjungan Zamani ke rumah Elizabeth. ”Semua terlaksana sesuai yang kamu perintahkan,” jawab Zamani. Bagaimana dengan suaminya? ”Sama. Sesuai yang kamu perintahkan,” jawab Zamani lagi. Jadi, Zamani masuk ke AS berkat pertolongan Red dan Zamani menolong Red dalam berurusan dengan suami Elizabeth. Itulah, sekali lagi, kerja concierge of crime.
Setelah mengobrolkan banyak hal, Zamani berpamitan kepada Red. Dengan gembira ia bilang kalau akhirnya, selama 60 tahun mendatang, orang akan terus membicarakan dirinya dan segala efek dari kejadian besar yang akan terjadi hari itu. Meledakkan bom kimia di Washington DC. Keduanya berpisah. Agen FBI belum ada yang muncul. Ressler sibuk mengikuti jejak tracker di tubuh Reddington. Ia mengejar sampai ke puncak sebuah gedung. Reddington berdiri di pinggir atap gedung dan siap terjun bunuh diri. Ressler menodongkan pistol dan menyuruhnya berhenti. Orang yang ditodong berbalik dan ternyata sosok itu adalah Zamani. Ressler menembak dan Zamani jatuh ke lantai dasar. Sebelum jatuh, Zamani sempat melepas sebuah tabung kecil dari tangannya. Ressler memungut tabung, membukanya, dan menemukan tracker yang semestinya menempel di leher Reddington.
Penjinak Bom dari Ukraina
Reddington menelepon Liz dan memberitahu kalau bom Zamani tak lama lagi akan meledak. Tapi ia tidak tahu bomnya berada di mana. Ia minta Liz mengingat kembali pembicaraannya dengan Zamani di rumahnya, dan apa saja yang dilihat Liz dari sosok Zamani. Liz menceritakan pembicaraannya dan Red bilang ia sudah tahu semua. Liz ingat Zamani punya tattoo dipunggung telapak tangan. Red bilang itu tidak mungkin karena Zamani seorang Serbia ortodok yang mengharamkan tattoo. Liz teringat gambar serupa ada di brosur yang di bawa suaminya: guru SD yang akan membawa rombongan anak sekolah ke kebon binatang. Gambar ditangan Zamani bukan tattoo melainkan stempel tanda masuk kebun binatang. Bom akan diledakkan di kebun binatang Washington DC. Selain menewaskan putri Jenderal, Zamani akan mengorbankan anak-anak lain yang ramai datang ke kebun binatang.
Liz datang ke kebun bintang dan menemukan putri sang Jenderal duduk sendirian di kursi taman. Bocah cilik itu bilang kalau ia disuruh diam di situ untuk menunggu ayahnya. Liz membuka jaket sang bocah dan melilhat lilitan kabel. Ia menengok ke ransel di punggungnya dan pengatur waktu hanya menyisakan waktu 3 menit. Liz memberitahu Reddington dan Red bilang ia sudah menyuruh seorang teman untuk menjinakkan bom. Benar saja, tak lama kemudian orang yang dimaksud Red datang. Ia tak bisa bahasa Inggris karena berasal dari Ukraina.
Sang penjinak bom berhasil menyelesaikan tugasnya, melepas jaket dan ransel, dan langsung pergi dengan membawa bom. Elizabeth minta agar bom tidak dibawa, tapi pria itu hanya melambaikan tangan. Saat itu Red datang dan menyuruh Liz membiarkannya. ”Sepertinya dia suka dengan bom. Anggap saja itu ongkos menjinakkan bom,” bilang Red. Para agen FBI berdatangan bersama Jenderal Ryker. Reddington langsung meletakkan tangan di belakang kepala dan bersimpuh. FBI meringkusnya lagi.
Kapten Ahab dan The Blacklist
Asisten Direktur FBI Harold Cooper dan agen Donald Ressler berkumpul dengan Raymond Reddington di ruang rapat gedung J Edgar Hoover. Cooper bertanya tentang orang Ukraina yang melarikan bom kimia. Red bilang itu tak penting. Orang itu punya keahlian khusus dan itu harus dihargai. Ia sekali lagi mengajak agar bom yang dibawa pergi itu sebagai upah kerja bagi sang penjinak bom. Ressler tidak teirma. Ia curiga jangan-jangan kasus Zamani hanya jadi kedok Red untuk mendapatkan bom kimia. Red bilang buat orang seperti dirinya, bom seperti itu tidak penting. Yang pasti adalah ia sudah membantu menangkap Zamani sesuai janjinya, walau akhirnya, karena ketidakmampuan FBI, ia sendiri yang harus membereskan urusan Zamani.
Cooper akhirnya bilang kasus Zamani sudah selesai dan Reddington akan masuk penjara untuk selama-lamanya. Ia berterima kasih kepada Reddington. ”Ini memang menyenangkan. Mari kita lakukan lagi,” kata Reddington. Cooper mengabaikannya dan beranjak meninggalkan ruang. ”Saya serius. Ayo kita lakukan lagi,” kata Reddington. ”Zamani itu hanya nama pertama dari…” Cooper berhenti. Terpancing. ”Pertama dari apa?” tanya Cooper. ”Nama pertama dari daftar panjang nama-nama kriminal yang saya susun selama 20 terakhir. Ada politisi, mafia, hacker, spy. Sebutlah itu blacklist. Zamani hanya ikan kecil. Saya ini Kapten Ahab,” kata Reddington, merujuk tokoh pemburu ikan Paus di dongeng Mobidik. ”FBI sudah punya blacklist sendiri,” kata Ressler. Reddington mengajak mereka jujur bahwa daftar 10 buronan teratas FBI itu hanya bahan publisitas. Sekedar beauty contest antar penegak hukum federal.
Melihat lawan bicaranya terdiam, Reddington melanjutkan bicara. Blacklist-nya berisi nama-nama tokoh kriminal penting yang takkan pernah ditangkap FBI karena FBI tak pernah tahu kalau mereka itu ada. Dan kalau FBI memang ingin menangkap ikan Paus, ada syaratnya. Pertama, ia tidak mau tidur di satu tempat lebih dari 2 hari. Kedua, pasangi pelacak 8 mm yang terenkripsi dan bukan pelacak murahan AlphaChip. Ketiga, Red minta pengawal pribadi. Ia akan menyerahkan 5 nama, FBI silakan pilih 2 orang. Keempat, dan yang paling penting, Reddington hanya akan menyampaikan nama yang diambil dari ”blacklist” lewat Elizabeth Keen.
Elizabeth tak ikut pertemuan itu. Ia sedang membersihkan karpet di rumah yang penuh ceceran darah suaminya. Kesal bekas darah tak kunjung hilang, ia memotong karpetnya. Saat itulah ia melihat ada celah lebar di lantai kayu rumahnya. Ia mencongkel lantai yang bercelah lear dan ternyata memang ada lubang di bawahnya. Dan di lubang itu ada peti besi. Ketika dibuka, isinya setumpuk uang kertas. Juga ada banyak paspor. Masing-masing paspor beda negara dan beda nama pemiliknya. Yang sama hanya fotonya. Foto Tom Keen.
Keesokan harinya Liz mendatangi Reddington. Bukan di suite mewahnya. Red ditahan di ruangan sempit berdinding besi. Reddington mendahului menyapa dengan kalimat yang jadi penutup episode pertama fim seri The Blacklist ini: ”Kau menemukan sesuatu yang menarik di rumah tentang suamimu?”
Blacksite di Tengah Samudera
Ruang tahanan sempit yang ditempati Reddington bukan berada di daratan Amerika. Itu ruang tahanan Divisi Operasi Khusus FBI yang berada di kapal kargo besar yang terus berlayar di lautan lepas atau mungkin di tengah samudera. Kapal itu penuh peti kemas. Sebuah helikopter akhirnya datang untuk menjemput Reddington. Ia dibawa terbang ke Washington DC. Dan ini adalah adegan pembuka episode ke-2 The Blacklist. FBI ternyata bersedia menjadikan Reddington sebagai Kapten Ahab yang akan menangkap penjahat kelas ikan Paus. Bukan lagi penjahat kelas (ikan) Kakap yang biasa diburu di Indonesia.
Setelah episode ke-dua tentu ada episode ke-3 dan seterusnya, sampai ke episode ke-152. Episode terakhir itu, yang jadi penutup Season 7 (Season 8 akan dibuat tahun depan), sudah tayang pada 15 Mei lalu. Atau tepatnya terpaksa ditayangkan. Penyebabnya, sebelum seluruh adegan episode terakhir selesai shooting, larangan kerja terkait wabah Covid-19 mulai berlaku di Hollywood. Episode terakhir itu masih bolong-bolong di sana sini. Tapi karena tak ingin menunda penayangannya, inisiatif lumayan ekstrim diambil. Adegan yang belum direkam dibuatkan versi animasi atau kartunnya. Walhasil, episode terakhir berupa campuran antara film kartun dan film sungguhan. Menarik? Silakan tonton sendiri.
Tak perlu terlalu berurutan untuk menonton episode-episode The Blacklist. Setiap nama yang ada di blacklist-nya Reddington rata-rata bisa difilmkan menajdi satu episode. Meski begitu ada beberapa benang merah yang merangkai seluruh episode. Antara lain soal Elizabeth yang ternyata putri kandung Reddington. Juga rentetan episode ketika Reddington harus membangun ulang bisnis kriminalnya dari nol. ***
Film Credits
Pemeran : James Spader, Megan Boone, Diego Klattenhoff, Harry Lenix, Amir Arison, Hisham Tawfiq, Parminder Nagra, Mozhan Marno
Sutradara : Joe Carnahan
Kreator : John Bokenkamp
Genre : Kriminal, Intelijen
Rilis : September 2013 – Mei 2020, 7 seasons, 152 episode
Durasi : 42 menit