Johnny Depp beraksi lagi. Tapi ia bukan tampil berani, lucu, dan kocak seperti di rentetan 5 film Pirates of the Caribbean (2003 – 2017). Kali ini, lewat film Waiting for the Barbarians, ia tampil sebagai sosok berwajah kaku tanpa ekspresi seperti di film Edward Scissorhands (1990) dan Alice in Wonderland (2010). Meski begitu, Johnny Depp sedikit membawa perilaku centil dari Pirates of Carribean. Berperan sebagai Kolonell Joll, ia hadir dengan kacam hitam modis, yang menurutnya bisa mencegah munculnya kulit berkerut di kelopak mata.
Kolonel Joll adalah perwira polisi intelijen dari sebuah kekaisaran Eropa di masa lalu, jaman kompeni, atau jaman Belanda masih menjajah Indonesia. Meski tak disebut spesifik kekaisaran mana, bisa ditebak kalau yang dimaksud adalah British Empire atau Kekaisaran Inggris. Sebagai perwira intelijen dari Bureau of State Security (Biro Keamanan Negara , ia tampil bukan sebagai orang yang berpakaian biasa. Ia tetap berseragam polisi, warna biru, naik kereta kuda dinas, dan selalu pergi dengan dikawal anak buahnya. Tapi anak buahnya tak banyak karena mereka harus lincah pergi ke banyak tempat.
Pada suatu ketika, Kolonel Joll ditugaskan ke salah satu tanah jajahan yang bernuansa gurun pasir. Dari sosok penduduk yang jadi sorotan film, bisa ditebak kalau wilayah itu bernuansa Mongol. Tanah jajahan itu dipimpin seorang magistrate sipil (kepala daerah), yang sepanjang film hanya dikenali dengan nama Magistrate ( Mark Rylance). Sang Magistrate bertanya maksud kedatangan sang kolonel ke wilayahnya yang adem ayem. Tak ada pemberontakan, tak ada perampokan, tak ada pencuri. Penduduk pun bisa bertani dan berkebun serta menghasilkan panen yang bagus.
Kolonel Joll bilang ia akan menginvestigasi isu tentang akan segera berlangsung serangan besar-besaran kaum barbar terhadap benteng atau kota yang dipimpin sang Magistrate, dan yang akan dilanjutkan ke kota-kota lain. Magistrate bilang itu tak mungkin terjadi. Kaum barbar –yang dalam literatur Indonesia diperhalus menjadi kaum atau suku Berber– hanya suku nomads yang memang selalu pindah ke banyak tempat bergantung musim. Kolonel Joll bilang apapun pendapat sang Magistrate tentang kaum barbar, ia tetap akan menjalankan tugas intelijennya. Magistrate lantas bertanya apa metode Kolonel Joll dalam menjalankan tugas intelijennya. Jawabnya simpel. Sabar dan paksaan. Sabar mengamati dan kemudian memaksa tanpa ampun, alias menyiksa untuk mendapatkan informasi.
Magistrate tak perlu lama untuk melihat bukti metode sang kolonel. Ketika bangun keesokan harinya, tahanan berwajah Mongol yang kemarin ditunjukkan kepada sang kolonel sudah babak belur. Bahkan seorang dari mereka tewas akibat disiksa. Sang kolonel berhasil mendapat info tambahan tentang rencana serangan kaum barbar. Sang Magistrate tak percaya sang kolonel bertindak sekeji itu. Siang harinya, sesuai rencana, sang kolonel berangkat ke wilayah selatan yang jadi tujuan investigasi. Ia membawa banyak perbekalan dan sejumlah polisi lokal bawahan Magistrate. Tanpa menuggu lama, film segera berganti adegan dengan saat Kolonel Joll pulang ke benteng dengan membawa banyak tahanan berwajah Mongol. Sang Magistrate kembali bengong melihat kiprah sang kolonel.
Johnny Depp sebagai Kolonel Joll banyak berkelahi dan bertempur kocak ala Jack Sparrow di the Pirates of The Caribbean? Sama sekali tidak. Dan boleh dibilang Johnny Depp tak banyak beraksi di film ini. Film ini sebenarnya film drama yang ingin berkisah tentang sang Magistrate. Berkisah tentang pejabat negara tua yang bijak, sabar, dan berusaha memimpin wilayah jajahan dengan adil. Pejabat yang melihat segalanya berjalan baik, dan selalu mencari aspek baik dari segala peristiwa. Dan karena tak banyak kejadian kriminal di wilayahnya, ia juga tak punya penjara besar untuk menahan para orang jahat. Hanya ada ruang bawah tanah kecil yang lebih sering kosong daripada terisi orang jahat.
Kesibukan harian Magistrate adalah menangani banyak pekerjaan rutin. Ia, misalnya, jadi orang yang menangani sengketa petani yang babinya masuk ke kebun tetangga dan sang tetangga kemudian menyandera babi petani. Di lain hari ia dengan sabar melayani petani yang menyetorkan hasil panen buah tanpa perlu curiga aga yang berbuat curang. Hobi kesukaannya adalah menjadi arkeolog yang berburu berbagai artefak kuno di perbukitan gurun pasir. Ia pun sudah mendokumentasi temuannya itu ke banyak sekali gulungan dokumen yang ada di ruang kerjanya.,
Walhasil, ketika Kolonel Joll kembali ke bentengnya dengan membawa banyak tahanan, Magistrate tak tahu apa yang harus diperbuat. Dan ketika sang kolonel sudah selesai dengan tugasnya, dan kembali ke Eropa dengan pesan akan segera mengirim pasukan intelijen lebih banyak, ia memutuskan untuk membebaskan para tahanan yang dikurung dalam kerangkeng di pojok halaman benteng. Ia menyuruh para tahanan, yang sebagian sudah babak belur, untuk pulang ke kampung mereka masing-masing, seperti orang menyuruh orang bubar dari sebuah keramaian.
Agar lebih kental nuansa dramanya atau nuansa lebaynya, Waiting for the Barbarians berlama-lama menampilkan adegan salah seorang tahanan wanita yang ternyata tak bisa pulang kampung. Tahanan wanita tanpa nama itu, yang hanya disebut The Girl (Gana Bayarsaikhan, aktor berdarah Mongol), tak bisa pulang karena kakinya dibuat lumpuh oleh Kolonel Joll. Belakangan juga diketahui kalau d punggungnya ada bekas luka berupa tanda silang besar buatan sang kolonel. Oleh Magistrate, tahanan wanita ini dibawa ke rumahnya, ke kamarnya, dan dirawatnya dengan penuh kesabaran. Tak jarang ia harus tertidur di kaki perempuan itu seusai memijat pergelangan kakinya. Di lain hari mereka tidur berdampingan di satu ranjang.
Ketika The Girl sudah lebih bugar, Magistrate bersama beberapa polisi lokal mengantarnya pulang. Karena ia seorang nomad, tentu tak jelas ke mana harus mengantarnya. Mereka suku yang suka berpindah-pindah tempat tinggal. Walhasil film pun cukup lama menampilkan adegan klasik rombongan manusia yang berkuda di padang pasir. Magistrate juga harus kehilangan kuda saat diserang badai dan anak buahnya harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Tapi mereka akhirnya bisa juga bertemu dengan sejumlah pria dari kaum nomads.
Magistrate menyerahkan The Girl kepada pria yang tampak seperti kepala suku. Ia juga menawarkan uang perak untuk membeli beberapa kuda mereka. Mereka bersedia menerima kembali the Girl, tapi tak mau menyerahkan kuda. Uang perak yang mereka berikan, kata The Girl, hanya uang pengganti atas nyawa mereka sendiri, alias Magistrate dan polisi lokal dipersilakan pergi tanpa harus ada yang dibunuh. Magistrate pun pulang ke bentengnya, dengan dua anak buahnya tetap berjalan kaki.
Magistrate bisa sampai dengan selamat di benteng. Tapi ia tak bisa langsung istirahat. Di benteng telah hadir banyak pasukan berseragam biru dari Bureau of State Security. Kolonel Joll sudah kembali? Betul. Tapi saat itu dia sedang berada di luar benteng menjalankan investigasi lagi di gurun pasir. Pasukan yang berada di benteng dipimpin Office Mandel (Robert Pattinson, aktor muda yang melejit berkat peran sebagai Edward Cullen di film ”Twilight”, 2008). Mandel bersikap tidak ramah pada Magistrate. Magistrate diminta bersiap-siap untuk diadili karena kesalahan yang amat jelas: meninggalkan benteng dalam waktu yang lama tanpa izin dari kekaisaran.
Ketika Kolonel Joll akhirnya muncul, Magistrate benar-benar disidang, sekaligus diinterogasi, oleh sang kolonel dan Officer Mandel. Berbagai dokumen yang ada di ruang kerjanya sudah diobrak-abrik, dibaca, dan diketahui kalau Magistrate mengetahui kemungkinan serangan kaum barbar. Mandel membacakan petikan dari berbagai dokumen yang menunjukkan hal itu. Magistrate menolak kalau temuannya disebut berisi info rencana serangan atau invasi kaum barbar. Dokumen itu hanya berisi catatan keseharian yang ia terjemahkan dari berbagai artefak. Magistrate akhirnya didakwa berkhianat terhadap kekaisaran.
Secara de facto, Magistrate dicopot dari jabatannya oleh Kolonel Joll. Ia pun lantas dihukum gantung. Ia dibawa ke bawah pohon tinggi, kepalanya disarungi karung, naik ke puncak tangga, dan tangganya dirobohkan. Magistrate tergantung. Penduduk ramai berkerumun menontonnya. Sebagian melemparinya dengan benda apa saja. Penduduk lain mencemoohnya sebagai pengkhianat. Tapi ternyata bukan leher Magistrate yang digantung. Hukuman itu hanya siksaan. Kedua tangannya yang terikat yang digantung di pohon. Ia masih hidup. Tapi ia kemudian harus jadi gembel di dalam kota karena tak boleh masuk ke rumahnya. Untunglah wanita pembantu rumah tangganya dulu masih baik hati, mau memberinya makan, dan juga mau mencukur jenggotnya.
Setelah Magistrate dicopot, kota dipimpin oleh Office Mandel. Kota pun menjadi mati dan hanya menjadi markas temporer bagi Kolonel Joll dan tentara Bureau of State Security. Dan akhirnya, pada suatu hari, seorang anggota pasukan intelijen pulang berkuda sendirian dengan kepala tertutup. Ketika Officer Mandel melepas penutup kepalanya, terlihat tentara itu sudah mati. Ia bisa duduk tegak di kuda karena disangga kayu. Batok kepalanya sudah tak ada. Bagi Mandel, itu pesan yang jelas. Tentara lain yang bertugas bersama tentara itu sudah dibantai habis. Kaum barbar menunjukkan eksistensinya. Keesokan harinya Mandel berpamitan kepada para warga. Kurang ajarnya, ia dan pasukannya pergi dengan membawa isi gudang makanan dan juga hewan ternak.
Karena sudah tak ada pasukan berseragam biru, Magistrate kembali berkuasa di wilayahnya. Ia mulai membenahi lagi kota yang sudah semakin sepi itu. Penduduk sudah banyak yang pergi. Dan akhirnya, pada suatu siang, terdengar derap kereta kuda datang. Kolonel Joll muncul. Dengan tergopoh-gopoh anak buah kolonel minta disiapkan kuda tambahan untuk kereta sang kolonel. Magistrate bilang sudah tak ada kuda lagi. Semua sudah dibawa Officer Mandel dan kawan-kawan. Magistrate mendatangi Kolonel Joll yang menunggu di kereta kuda. Sang kolonel terlihat lemah dan terluka. Ia mengucapkan selamat tinggal dan kereta kuda langsung pergi meninggalkan benteng.
Magistrate senang wilayahnya akhirnya benar-benar bisa terbebas dari tentara yang keji. Kolonel Joll sudah lari tunggang langgang. Magistrate pun menikmati sisa hari dengan tenang. Tapi, itu tak lama. beberapa jam kemudian ia mendengar suara gemuruh di kejauhan. Dari tepian atas benteng ia bisa melihat debu mengepul dengan amat lebarnya di padang pasir. Itu adalah gemuruh dan debu pasukan berkuda kaum barbar yang datang menyerbu. Kolonel Joll ternyata benar.
Film ”Waiting for the the Barbarians” mungkin disukai orang yang sok suka film serius. Film ini kebetulan memang film yang banyak digadang ke berbagai festival top, termasuk ke Festival Film Venesia pada September 2019 dan Festival Film London pada Oktober 2019. Tapi akhirnya, karena banyak bioskop tutup di seluruh dunia, film ini dirilis sebagai film on-demand di berbagai bioskop online pada Agustus 2020.***
Pemeran : Mark Rylance, Johnny Depp, Robert Pattinson, Gana Bayarsaikhan
Sutradara : Ciro Guerra
Studio : Iervolino Entertainment / Samuel Goldwyn Films
Genre : Drama, Perang
Rilis : Agustus 2020
Durasi : 112 menit (1 jam 52 menit)